Minggu, 23 September 2012


Mengganjal Manipulasi Tangan
                                   

            Aku saat ini punya status sebagai mahasiswa. Status yang menurut beberapa orang adalah sesuatu yang istimewa. Mahasiswa berarti sudah lebih dari siswa, lebih besar tanggung jawab, hak serta kewajiban nya jika dibandingkan seorang siswa. Tidak hanya tanggung jawab terhadap diri nya sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat.  Kewajiban dan tanggung jawab kita, sebagai mahasiswa dapat kita lakukan sesuai cara kita masing-masing, terserah bagaimana cara nya asalkan tidak merugikan orang lain tentu nya.

            Mahasiswa, terkadang identik dengan figur orang yang intelektual, kritis, dan dewasa. Well, anggap saja sebagian besar mahasiswa seperti itu, walau jika aku boleh menilai aku sendiri sangat jauh dari hal-hal tersebut.  Intelektual artinya disini mungkin, mahasiswa sering dihadapkan untuk selalu berpikir ilmiah dan logis, tidak ngawur atu asal-asalan saja. Mahasiswa juga diharapkan dewasa, dalam hal ini mampu menentukan hal yang baik dan buruk dan bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya.  Mahasiswa juga sering melekat sebagai orang yang kritis, kritis terhadap keadaan sekitar, kritis terhadap kondisi masyarakat, kritis terhadap pemereintah, dll.

            Aku sebagai mahasiswa ? ya beginilah jauh dari kesan-kesan tersebut. Aku walau kuliah di sebuah universitas negeri ternama di kota gudeg, tetap saja belum banyak hal yang berubah dari ku sejak jadi mahasiswa.  Dan yang jelas aku bukanlah verminan mahasiswa yang pstut untuk ditiru,  tidak terikat organisasi kampus, malas berorganisasi, pikiran masih belum jelas, serta cukup apatis terhadap bau-bau politik. Ya begitulah diri ku, masih menikmati diri ku yang seperti itu.

            Bicara soal mahasiswa, ada hal yang cukup menarik dari satu tahun pertama ku menjadi mahasiswa.  Hal ini sebenarnya sangat umum, jamak di perkuliahan dan pasti nya sudah ada sejak lama. Tak pula di pungkiri di tempat aku berkuliah akhirmya aku menemui hal seperti ini, semenjak awal zemseter kedua. Sebut saja fenomena itu MTT (Manipulasi Tanda Tangan) atsau bahasa populer nya “titip absen”. Ya, sebuah fenomena memanipulasi tanda tangan oleh diri sendiri maupun dengan bantuan orang lain, supaya dapat tidak masuk kuliah dan terselamatkan dari syarat ada  75% tanda tangan kita di kertas presensi selama satu semester.  Dan seperti bisa ditebak, praktek ini sangat sulit untuk dibinasakan.

            Tulisan ini juga tak punya niat untuk membinasakan praktek tersebut, tak mau menyalahkan siapa pun juga. Mungkin, sedikit menyindir, tapi tak ap anggap saja angin lalu kawan. Hanya ingin mengutarakan bagaimana rasa nya melihat praktek tersebut beredar bebas di kmpus dan menjadi candu terselubung.

            Bagi ku, praktek MTT (Manipulasi Tanda Tangan) ini tak lebih dari seperti surat palsu yang dibuat seorang siswa sebagai lasan membolos sekolah. Jika dipikir-[ikir bahkan lebih hebat dari surat izin palsu. Jika surat izin palsu mengkonfirmasi siswa tersebut tidak datang hari itu.  MTT ini justru seolah praktik sulap dan supranatural, membuat seolah-olah pelaku praktik ini ada dalam perkuliahan, padahal yang berdangkutan tak ada di kelas. Pelaku di sini ialah orang yang meminta tolong atau yang memanipulasi presensi. Biasa nya karena terpaksa dan terikat tali pertemanan erat yang mengiurkan untuk dimanfaatkan sebagai cara ampuh untuk tak berangkat hari itu.

            Melihat praktik MTT, yang muncul pertama kali adalah persaan tidak adil. Betapa enak nya tak perlu datang ke kelas, tepai seolah dua setengah jam duduk di kelas.  Perasaan ku kurang bisa menerima hal ini. Beberapa teman juga kurang bisa menerima hal ini. Namun kami hanya bisa diam saja. Tak mberani melapor, ingin menyatakan perasaan kami pun takut dan tak enak dengan pelaku nya yang juga teman sendiri.

            Lalu apa yang saya lakuakan ? ya hanya diam saja, sambil sesekali menulis kalimat-kalimat bernada sindiran di jejaring sosial. Kalimat-kalimat sindiran itu cukup pedas dan tajam, entah karena pengaruh emosi yang masih panas kal itu sehingga yang keluar adalah kata yang tajam. Sekali, dua kali, dan beberapa kalimat sudah tertulis di sana, aku pun juga sudah yakin beberapa pelaku nya sudah membaca kalimat sindiran tersebut.

             Puncak nya ketika suatu siang, sebuah SMS masuk, berisi kekecewaan dan nada cukup tinggi terhadap kalimat ku di jejaring sosial.  Esok nya pengirim SMS tersebut berbincang cukup alot dengan ku, menciba menjelaskan pandangan dari masing-masing sisi. Kesimpulanya aku berpegang bahwa aku tak setuju cara manipulasi presensi. Sementara dia berpegang teguh bahwa itu adalah hak nya, dan aku seharusnya dapat menghargai nya , klau aku ingin seperti dia cukup lakukan seperti yang lain lakukan.

            Setelah pembicaraan itu aku mundur. Mundur teratur dari pergoncangan kata-kata, berlatih menerima keadaan. Keadaan juga mulai menunjukan bahwa ini semua sudah seperti sistembesar. Sulit diputus karena banyak mata rantai. Penuh rintangan dan godaan untuk tetap berdiri.  Dan karena itu, harapan ku pun tak muluk-muluk, cukup semoga aku mampu terus berusaha jujur disemasa hidup ku.  Semoga aku mampu bertahan dianatara himpitan sistem ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate