Mengganjal Manipulasi Tangan
Aku saat
ini punya status sebagai mahasiswa. Status yang menurut beberapa orang adalah
sesuatu yang istimewa. Mahasiswa berarti sudah lebih dari siswa, lebih besar
tanggung jawab, hak serta kewajiban nya jika dibandingkan seorang siswa. Tidak
hanya tanggung jawab terhadap diri nya sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat. Kewajiban dan tanggung jawab kita, sebagai
mahasiswa dapat kita lakukan sesuai cara kita masing-masing, terserah bagaimana
cara nya asalkan tidak merugikan orang lain tentu nya.
Mahasiswa,
terkadang identik dengan figur orang yang intelektual, kritis, dan dewasa.
Well, anggap saja sebagian besar mahasiswa seperti itu, walau jika aku boleh
menilai aku sendiri sangat jauh dari hal-hal tersebut. Intelektual artinya disini mungkin, mahasiswa
sering dihadapkan untuk selalu berpikir ilmiah dan logis, tidak ngawur atu
asal-asalan saja. Mahasiswa juga diharapkan dewasa, dalam hal ini mampu
menentukan hal yang baik dan buruk dan bertanggung jawab atas pilihan yang
diambilnya. Mahasiswa juga sering
melekat sebagai orang yang kritis, kritis terhadap keadaan sekitar, kritis
terhadap kondisi masyarakat, kritis terhadap pemereintah, dll.
Aku
sebagai mahasiswa ? ya beginilah jauh dari kesan-kesan tersebut. Aku walau
kuliah di sebuah universitas negeri ternama di kota gudeg, tetap saja belum
banyak hal yang berubah dari ku sejak jadi mahasiswa. Dan yang jelas aku bukanlah verminan
mahasiswa yang pstut untuk ditiru, tidak
terikat organisasi kampus, malas berorganisasi, pikiran masih belum jelas,
serta cukup apatis terhadap bau-bau politik. Ya begitulah diri ku, masih
menikmati diri ku yang seperti itu.
Bicara soal mahasiswa, ada hal yang
cukup menarik dari satu tahun pertama ku menjadi mahasiswa. Hal ini sebenarnya sangat umum, jamak di
perkuliahan dan pasti nya sudah ada sejak lama. Tak pula di pungkiri di tempat
aku berkuliah akhirmya aku menemui hal seperti ini, semenjak awal zemseter
kedua. Sebut saja fenomena itu MTT (Manipulasi Tanda Tangan) atsau bahasa
populer nya “titip absen”. Ya, sebuah fenomena memanipulasi tanda tangan oleh
diri sendiri maupun dengan bantuan orang lain, supaya dapat tidak masuk kuliah
dan terselamatkan dari syarat ada 75%
tanda tangan kita di kertas presensi selama satu semester. Dan seperti bisa ditebak, praktek ini sangat
sulit untuk dibinasakan.
Tulisan
ini juga tak punya niat untuk membinasakan praktek tersebut, tak mau
menyalahkan siapa pun juga. Mungkin, sedikit menyindir, tapi tak ap anggap saja
angin lalu kawan. Hanya ingin mengutarakan bagaimana rasa nya melihat praktek
tersebut beredar bebas di kmpus dan menjadi candu terselubung.
Bagi ku,
praktek MTT (Manipulasi Tanda Tangan) ini tak lebih dari seperti surat palsu yang
dibuat seorang siswa sebagai lasan membolos sekolah. Jika dipikir-[ikir bahkan
lebih hebat dari surat izin palsu. Jika surat izin palsu mengkonfirmasi siswa
tersebut tidak datang hari itu. MTT ini
justru seolah praktik sulap dan supranatural, membuat seolah-olah pelaku praktik
ini ada dalam perkuliahan, padahal yang berdangkutan tak ada di kelas. Pelaku
di sini ialah orang yang meminta tolong atau yang memanipulasi presensi. Biasa
nya karena terpaksa dan terikat tali pertemanan erat yang mengiurkan untuk
dimanfaatkan sebagai cara ampuh untuk tak berangkat hari itu.
Melihat
praktik MTT, yang muncul pertama kali adalah persaan tidak adil. Betapa enak
nya tak perlu datang ke kelas, tepai seolah dua setengah jam duduk di
kelas. Perasaan ku kurang bisa menerima
hal ini. Beberapa teman juga kurang bisa menerima hal ini. Namun kami hanya
bisa diam saja. Tak mberani melapor, ingin menyatakan perasaan kami pun takut
dan tak enak dengan pelaku nya yang juga teman sendiri.
Lalu apa
yang saya lakuakan ? ya hanya diam saja, sambil sesekali menulis
kalimat-kalimat bernada sindiran di jejaring sosial. Kalimat-kalimat sindiran
itu cukup pedas dan tajam, entah karena pengaruh emosi yang masih panas kal itu
sehingga yang keluar adalah kata yang tajam. Sekali, dua kali, dan beberapa
kalimat sudah tertulis di sana, aku pun juga sudah yakin beberapa pelaku nya
sudah membaca kalimat sindiran tersebut.
Puncak nya ketika suatu siang, sebuah SMS
masuk, berisi kekecewaan dan nada cukup tinggi terhadap kalimat ku di jejaring
sosial. Esok nya pengirim SMS tersebut
berbincang cukup alot dengan ku, menciba menjelaskan pandangan dari
masing-masing sisi. Kesimpulanya aku berpegang bahwa aku tak setuju cara
manipulasi presensi. Sementara dia berpegang teguh bahwa itu adalah hak nya,
dan aku seharusnya dapat menghargai nya , klau aku ingin seperti dia cukup
lakukan seperti yang lain lakukan.
Setelah
pembicaraan itu aku mundur. Mundur teratur dari pergoncangan kata-kata,
berlatih menerima keadaan. Keadaan juga mulai menunjukan bahwa ini semua sudah
seperti sistembesar. Sulit diputus karena banyak mata rantai. Penuh rintangan
dan godaan untuk tetap berdiri. Dan
karena itu, harapan ku pun tak muluk-muluk, cukup semoga aku mampu terus
berusaha jujur disemasa hidup ku. Semoga
aku mampu bertahan dianatara himpitan sistem ini.